PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2007
TENTANG
PENCATATAN NIKAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
: bahwa untuk memenuhi tuntutan perkembangan tata pemerintahan dan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat, dipandang perlu meninjau
kembali Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang Pencatatan
Nikah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk;
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun
1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa
dan Madura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 694);
3.
Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019);
4.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4611);
5.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3250);
7.
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2002 tentang Mahkamah Syar’iyah dan
Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nangroe aceh Darussalam;
8.
Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 49 Tahun 2002 tentang Kedudukan, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Departeman Agama;
9.
Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
10.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Keenam Atas
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas
Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;
11.
Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri Luar Negeri Nomor 589
Tahun 1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri;
12. Keputusan Menteri Agama Nomor 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan;
13.
Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota, sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2003;
14. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PENCATATAN NIKAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1.
Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut KUA adalah
instansi Departemen Agama yang bertugas melaksanakan sebagian tugas
Kantor Departemen Agama kabupaten./kota di bidang urusan agama islam
dalam wilayah kecamatan.
2.
Kepala Seksi adalah kepala seksi yang ruang lingkup tugasnya meliputi
tugas kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama kabupaten./kota.
3.
Penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi
tugas tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan pengawasan
nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.
4.
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah adalah anggota masyarakat tertentu yang
diangkat oleh Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota untuk
membantu tugas-tugas PPN di desa tertentu.
5. Pengadilan adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.
6. Akta nikah adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan.
7. Buku nikah adalah kutipan akta nikah.
8. Buku pendaftaran Cerai Talak adalah buku yang digunakan untuk mencatat pendaftaran putusan cerai talak.
9. Buku pendaftaran Cerai Gugat adalah buku yang digunakan untuk mencatat pendaftaran putusan cerai gugat.
10. Akta rujuk adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa rujuk.
11. Kutipan Buku Pencatatan Rujuk adalah kutipan akta rujuk.
BAB II
PEGAWAI PENCATAT NIKAH
Pasal 2
1.
Pegawai Pencatat Nikah yang selanjutnya disebut PPN adalah pejabat yang
melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa
nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan
bimbingan perkawinan.
2. PPN dijabat oleh Kepala KUA.
3.
Kepala KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menandatangani akta
nikah, akta rujuk, buku nikah (kutipan akta nikah) dan/atau kutipan akta
rujuk.
Pasal 3
1. PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya dapat diwakili oleh Penghulu atau Pembantu PPN.
2.
Pembantu PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengangkatan,
pemberhentian, dan penetapan wilayah tugasnya dilakukan dengan surat
keputusan Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota atas usul Kepala
KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi Kepala Seksi yang membidangi
urusan agama Islam.
3.
Pengangkatan, pemberhentian, dan penetapan wilayah tugas Pembantu PPN
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada kepala
desa/lurah di wilayah kerjanya.
Pasal 4
Pelaksanaan
tugas Penghulu dan Pembantu PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat
(1) dilaksanakan atas mandat yang diberikan oleh PPN.
BAB III
PEMBERITAHUAN KEHENDAK NIKAH
Pasal 5
1. Pemberitahuan kehendak menikah disampaikan kepada PPN, di wilayah kecamatan tempat tinggal calon isteri.
2.
Pemberitahuan kehendak nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi
Formulir Pemberitahuan dan dilengkapi persyaratan sebagai berikut:
a. Surat keterangan untuk nikah dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
b.
Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir, atau surat keterangan
asal usul calon mempelai dari kepala desa/lurah atau nama lainnya;
c. Persetujuan kedua calon mempelai;
d. Surat keterangan tentang orang tua (ibu dan ayah) dari kepala desa/pejabat setingkat;
e. Izin tertulis orang tua atau wali bagi calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun;
f. Izin dari pengadilan, dalam hal kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud huruf e di atas tidak ada;
g.
Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19
tahun dan bagi calon isteri yang belum mencapai umur 16 tahun;
h. Surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota TNI/POLRI;
i. Putusan pengadilan berupa izin bagi suami yang hendak beristeri lebih dari seorang;
j.
kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang
perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama;
k.
Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/isteri dibuat oleh
kepala desa/lurah atau pejabat setingkat bagi janda/duda;
l. Izin untuk menikah dari kedutaan/kantor perwakilan negara bagi warga negara asing.
3.
Dalam hal kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j rusak, tidak terbaca atau
hilang, maka harus diganti dengan duplikat yang dikeluarkan oleh Kepala
KUA yang bersangkutan.
4.
Dalam hal izin kawin sebagaimana dimaksud pda ayat(1) huruf berbahasa
asing, harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penterjemah
Resmi.
BAB IV
PERSETUJUAN DAN DISPENSASI USIA NIKAH
Pasal 6
Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Pasal 7
Apabila seseorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)tahun, harus mendapat izin tertulis kedua orang tua.
Pasal 8
Apabila
seorang calon suami belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
seorang calon isteri belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, harus
mendapat dispensasi dari pengadilan.
BAB V
PEMERIKSAAN NIKAH
Pasal 9
1.
Pemeriksaan nikah dilakukan oleh PPN atau petugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) terhadap calon suami, calon isteri, dan wali
nikah mengenai ada atau tidak adanya halangan untuk menikah menurut
hukum Islam dan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (2).
2.
Hasilpemeriksaan nikah ditulis dalam Berita Acara Pemeriksaan Nikah,
ditandatangani oleh PPN atau petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
calon isteri, calon suami dan wali nikah.oleh Pembantu PPN
3.
Apabila calon suami, calon isteri, dan/atau wali nikah tidak dapat
membaca/menulis maka penandatanganan dapat diganti dengan cap jempol
tangan kiri.
4.
Pemeriksaan nikah yang dilakukan oleh Pembantu PPN, dibuat 2 (dua)
rangkap, helai pertama beserta surat-surat yang diperlukan disampaikan
kepada KUA dan helai kedua disimpan oleh petugas pemeriksa yang
bersangkutan.
Pasal 10
1.
Apabila calon suami, calon isteri dan wali nikah bertempat tinggal di
luar wilayah kecamatan tempat pernikahan dilangsungkan, pemeriksaan
dapat dilakukan oleh PPN di wilayah yang bersangkutan bertempat tinggal.
2.
PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah melakukan pemeriksaan
terhadap calon suami, dan atau calon isteri serta wali nikah, wajib
mengirimkan hasil pemeriksaan kepada PPN wilayah tempat pelaksanaan
pernikahan.
Pasal 11
Apabila
dari hasil pemeriksaan nikah ternyata terdapat kekurangan
persyaratan/ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), maka
PPN harus memberitahukan kepada calon suami dan wali nikah atau
wakilnya.
BAB VI
PENOLAKAN KEHENDAK NIKAH
Pasal 12
1.
Dalam hal hasil pemeriksaan membuktikan bahwa syarat-syarat perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) tidak terpenuhi atau
terdapat halangan untuk menikah, maka kehendak perkawinannya ditolak dan
tidak dapat dilaksanakan.
2.
PPN memberitahukan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
calon suami dan wali nikah disertai alasan-alasan penolakannya.
3.
Calon suami atau wali nikah dapat mengajukan keberatan atas penolakan
sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada pengadilan setempat. Apabila
pengadilan memutuskan atau menetapkan bahwa pernikahan dapat
dilaksanakan, maka PPN diharuskan mengizinkan pernikahan tersebut
dilaksanakan.
BAB VII
PENGUMUMAN KEHENDAK NIKAH
Pasal 13
1. Apabila persyaratan pernikahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) telah dipenuhi, PPN mengumumkan kehendak nikah.
2.
Pengumuman adanya kehendak nikah dilakukan pada tempat tertentu di KUA
kecamatan atau di tempat lainnya yang mudah diketahui oleh umum di desa
tempat tinggal masing-masing calon mempelai.
3. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan selama 10 (sepuluh) hari.
BAB VIII
PENCEGAHAN PERNIKAHAN
Pasal 14
1.
Pencegahan pernikahan dapat dilakukan oleh pihak keluarga atau wali
atau pengampu atau kuasa dari salah seorang calon mempelai atau orang
lain yang memiliki kepentingan, apabila terdapat alasan yang menghalangi
dilakukannya pernikahan.
2.
Pencegahan pernikahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diajukan ke pengadilan atau kepada PPN di wilayah hukum tempat
pernikahan akan dilaksanakan dan kepada masing-masing calon mempelai.
Pasal 15
PPN dilarang membantu melaksanakan dan mencatat peristiwa nikah apabila:
1. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) tidak terpenuhi;
2. Mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan/persyaratan pernikahan.
BAB IX
AKAD NIKAH
Pasal 16
1. Akad nikah tidak dilaksanakan sebelum masa pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 berakhir.
2.
Pengecualian terhadap jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan karena adanya suatu alasan yang penting, dengan
rekomendasi dari camat di wilayah yang bersangkutan.
Pasal 17
1. Akad nikah dilaksanakan dihadapan PPN atau Penghulu dan Pembantu PPN dari wilayah tempat tinggal calon isteri.
2.
Apabila akad nikah akan dilaksanakan di luar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka calon isteri atau walinya harus
memberitahukan kepada PPN wilayah tempat tinggal calon isteri untuk
mendapatkan surat rekomendasi nikah.
Pasal 18
1. Akad nikah dilakukan oleh wali nasab.
2. Syarat wali nasab adalah:
a. Laki-laki;
b. Beragama Islam;
c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
d. Berakal;
e. Merdeka; dan
f. Dapat berlaku adil.
3.
Untuk melaksanakan pernikahan wali nasab dapat mewakilkan kepada PPN,
Penghulu,Pembantu PPN atau orang lain yang memenuhi syarat.
4.
Kepala KUA kecamatan ditunjuk menjadi wali hakim, apabila calon isteri
tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi
syarat,berhalangan atau adhal.
5. Adhalnya wali sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan keputusan pengadilan.
Pasal 19
1. Akad nikah harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang saksi.
2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat:
a. Laki-laki;
b. Beragama Islam;
c. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
d. Berakal;
e. Merdeka; dan
f. Dapat berlaku adil.
3. PPN, Penghulu, dan/atau Pembantu PPN dapat diterima sebagai saksi.
Pasal 20
1. Akad nikah harus dihadiri oleh calon suami.
2. Dalam hal calon suami tidak dapat hadir pada sat akad nikah, dapat diwakilkan kepada orang lain.
3. Persyaratan wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Memenuhi syarat sebagaimana berikut:
1. Laki-laki;
2. Beragama Islam;
3. Baligh, berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
4. Berakal;
5. Merdeka; dan
6. Dapat berlaku adil.
b. Surat kuasa yang disahkan oleh PPN atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia apabila calon suami berada di luar negeri.
Pasal 21
1. Akad nikah dilaksanakan di KUA
2. Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN, akad nikah dapat dilaksanakan di luar KUA.
Pasal 22
1. Calon suami dan calon isteri dapat mengadakan perjanjian perkawinan.
2.
Materi perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam dan/atau peraturan perundang-undangan.
3.
Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis diatas kertas
bermeterai cukup, ditandatangani oleh kedua belah pihak, disaksikan oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi dan disahkan oleh PPN.
4. Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat 3 (tiga) rangkap:
a. Dua rangkap untuk suami dan isteri; dan
b. Satu rangkap disimpan di KUA.
Pasal 23
1. Suami dapat menyatakan sigat taklik.
2. Sigat taklik dianggap sah apabila ditandatangani suami.
3. Sigat taklik ditetapkan oleh Menteri Agama.
4. Sigat taklik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dicabut kembali.
Pasal 24
1.
Dalam hal suami mewakilkan qabulnya kepada orang lain, pembacaan dan
penandatanganan taklik talak oleh suami, dilakukan pada waktu lain di
hadapan PPN, Penghulu atau Pembantu PPN tempat akad nikah dilaksanakan.
2.
Dalam hal suami menolak untuk membacakan dan menadatangani sigat
taklik, isteri dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan agar
dilakukan sigat taklik.
Pasal 25
Perjanjian perkawinan dan/atau sigat taklik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 dalam daftar pemeriksaan nikah.
BAB X
PENCATATAN NIKAH
Pasal 26
1. PPN mencatat peristiwa nikah dalam akta nikah.
2. Akta nikah ditandatangani oleh suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi dan PPN.
3. Akta nikah dibuat rangkap 2 (dua), masing-masing disimpan di KUA setempat dan Pengadilan.
4. Setiap peristiwa pernikahan dilaporkan ke kantor administrasi kependudukan di wilayah tempat pelaksanaan akad nikah.
Pasal 27
1. Buku nikah adalah sah apabila ditandatangani oleh PPN.
2. Buku nikah diberikan kepada suami dan isteri segera setelah proses akad nikah selesai dilaksanakan.
BAB XI
PENCATATAN NIKAH
WARGANEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI
Pasal 28
Pencatatan
Nikah bagi warganegara Indonesia yang ada di luar negeri dilakukan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Menteri Agama Republik
Indonesia dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia nomor 589 Tahun
1999 dan Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perkawinan Warga Negara Indonesia di Luar Negeri.
BAB XII
PENCATATAN RUJUK
Pasal 29
1. Suami dan isteri yang akan melaksanakan rujuk, memberitahukan kepada PPN secara tertulis dengan dilengkapi akta cerai/talak.
2.
PPN atau petugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3
ayat (1) memeriksa, meneliti dan menilai syarat-syarat rujuk.
3. Suami mengucapkan ikrar rujuk di hadapan PPN atau Penghulu atau Pembantu PPN.
4. PPN mencatat peristiwa rujuk dalam akta rujuk yang ditandatangani oleh suami, isteri, saksi-saksi, dan PPN.
Pasal 30
1. Kutipan buku pencatatan rujuk adalah sah apabila ditandatangani oleh Kepala KUA sebagai PPN.
2. Kutipan buku catatan rujuk segera diberikan kepada suami dan isteri setelah akta rujuk disahkan.
3. KUA menyampaikan pemberitahuan rujuk kepada pengadilan untuk pengambilan buku nikah.
BAB XIII
PENDAFTARAN CERAI TALAK
DAN CERAI GUGAT
Pasal 31
1.
Berdasarkan salinan penetapan pengadilan, PPN yang mewilayahi tempat
tinggal isteri berkewajiban mendaftar/mencatat setiap peristiwa
perceraian dalam buku pendaftaran cerai talak atau buku pendaftaran
cerai gugat dan pada Akta Nikah yang bersangkutan.
2.
Daftar atau catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tempat
dan tanggal kejadian perceraian serta tanggal dan nomor
penetapan/putusan pengadilan.
3.
Masing-masing daftar/catatan peristiwa cerai talak dan/atau cerai gugat
sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diketahui/ditandatangani oleh
Kepala KUA sebagai PPN.
BAB XIV
SARANA
Pasal 32
1. Blangko Pemeriksaan Nikah, Akta Nikah, Buku Nikah, Akta Rujuk, Kutipan Akta Rujuk ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama.
2.
Blangko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Departemen
Agama dalam hal ini Direktorat yang membidangi urusan agama Islam.
3.
Formulir-formulir yang digunakan dalam pendafataran dan pemeriksaan
dalam proses pendaftaran nikah, cerai, talak dan rujuk selain yang
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal
yang membidangi urusan agama Islam.
4. Formulir-formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diadakan oleh kantor wilayah Departemen Agama provinsi.
BAB XV
TATA CARA PENULISAN
Pasal 33
1.
Pengisian blangko-blangko yang digunakan dalam pendaftaran, pemeriksaan
dan pendaftaran peristiwa nikah, cerai/talak dan rujuk ditulis dengan
huruf balok dan menggunakan tinta hitam.
2. Penulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan mesin ketik atau komputer.
Pasal 34
1.
Perbaikan penulisan dilakukan dengan mencoret kata yang salah dengan
tidak menghilangkan tulisan salah tersebut, kemudian menulis kembali
perbaikannnya dengan dibubuhi paraf oleh PPN, dan diberi stempel KUA.
2.
Perubahan yang menyangkut biodata suami, isteri ataupun wali harus
berdasarkan kepada putusan Pengadilan pada wilayah yang bersangkutan.
BAB XVI
PENERBITAN DUPLIKAT
Pasal 35
Penerbitan
duplikat buku nikah, duplikat kutipan putusan cerai dan duplikat
kutipan akta rujuk yang hilang atau rusak, dilakukan oleh PPN
berdasarkan surat keterangan kehilangan atau kerusakan dari kepolisian
setempat.
BAB XVII
PENCATATAN PERUBAHAN STATUS
Pasal 36
1. PPN membuat catatan perubahan status pada buku pendaftaran talak atau cerai apabila orang tersebut menikah lagi.
2.
Catatan perubahan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
tempat tinggal dan nomor buku nikah serta ditandatangani dan dibubuhi
tanggal oleh Kepala KUA.
3.
Apabila perceraiannya di daftar di tempat lain, PPN yang melaksanakan
pernikahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberitahukan
pernikahan tersebut kepada PPN tempat pendaftaran perceraian.
Pasal 37
1. Dalam hal suami beristeri lebih dari seorang, PPN membuat catatan dalam akta nikah terdahulu bahwa suami telah menikah lagi.
2.
Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: tempat, tanggal
dan nomor buku nikah serta dibubuhi tanggal dan ditandatangani oleh
Kepala KUA.
3.
Apabila pernikahan ditempat yang berbeda, PPN yang melakukan pencatatan
nikah wajib memberitahukan peristiwa nikah tersebut kepada PPN tempat
terjadinya pernikahan terdahulu.
BAB XVIII
PENGAMANAN DOKUMEN
Pasal 38
1. Kepala KUA melakukan penyimpanan dokumen pencatatan nikah, talak, cerai dan/atau rujuk.
2. Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kantor KUA dengan dengan mempertimbangkan aspek keamanan.
3.
Jika terjadi kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh hal-hal di
luar kemampuan manusia seperti kebakaran, banjir, dan huru-hara, maka
Kepala KUA melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Departemen Agama
kabupaten/kota dan kepolisian, yang dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh kepala KUA, Kepala Kantor Departemen Agama dan
kepolisian setempat.
BAB XIX
PENGAWASAN
Pasal 39
1. Kepala KUA kecamatan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN.
2.
Kepala KUA wajib melaporkan hasil pencatatan nikah, talak/rujuk secara
periodik kepada Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota.
3. Dalam hal-hal tertentu Kepala Seksi dapat melakukan pemeriksaan langsung ke KUA.
4.
Hasil pemeriksaan dibuat dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan yang
ditandatangani oleh Kepala Seksi dan Kepala KUA yang bersangkutan.
5.
Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaporkan
kepada Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota dan seterusnya
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi.
BAB XX
SANKSI
Pasal 40
1.
PPN dan Penghulu yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan ini dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Pembantu PPN yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi pemberhentian.
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Dengan
berlakunya Peraturan ini ketentuan mengenai persyaratan, pengawasan dan
pencatatan nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 477 Tahun 2004
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Pasal 43
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2007
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA